Oleh: Ustadz Jamaludin Abdullah
“Sudah baca Al-Fatihah buat bapak?” Kyai sebuah pesantren besar di Jawa Timur itu memastikan pada istrinya sebelum pergi.
“Sudah, Pak.”
“Dua puluh lima kali?”
“Dua puluh lima kali.”
Sang Kyai tersenyum. Juga istrinya.
“O ya, anak-anak juga sudah baca buat bapak, kan?”
“Sudah juga. Insya Allah. Bismillah, bapak berangkat saja. Nanti ibu pastikan. Tadi baru lihat sepintas saja.”
“Bapak juga sudah baca buat ibu dan anak-anak, masing-masing dua puluh lima kali.”
“Terimakasih, Pak”
“Terimakasih juga, Bu.”
Mereka bersalaman. Sang instri mencium tangan suami, sang suami mencium kening istri. Lalu melangkah.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam.” Istrinya menjawab dengan suara lembut dan senyum mengembang.
Saling membacakan Al-Fatihah adalah ritual harian keluarga Kyai yang lebih suka dipanggil Bapak oleh keluarganya ini. Dia juga memanggil istrinya dengan ibu seperti masyarakat kebanyakan.
Pun, ketika pesantren akan melaksanakan sebuah rencana, misalnya mengirim santri belajar ke luar negeri, beliau akan berdiri di depan santri-santrinya.
Setelah tujuan kepergian dijelaskan, dan nasihat-nasihat yang memotivasi diutarakan, beliau akan menutup dengan meminta santri yang jumlahnya ribuan itu membacakan Al-Fatihah beberapa kali.
Saat-saat seperti itu suasana terasa sakral. Hening. Hanya suara burung terdengar bersahutan memenuhi masjid pesantren itu.
Doa dan bacaan Al-Fatihah dari keluarga dan dari ribuan santri membuat Kyai merasa optimis dan enerjik. Langkahnya ringan. Kepercayaan dirinya mengembang, seumpama layang-layang yang terbang karena terpaan angin. Ya, surat Al-Fatihah baginya ibarat angin bagi layang-layang.
Al-Fatihah, seperti arti namanya, adalah pembuka, pembuka hari demi hari kehidupan sang Kyai. Al-Fatihah adalah penggedor semesta yang dengannya pintu-pintu langit terbuka dan menghamparkan kepada beliau jalan-jalan kemudahan dalam kehidupan keluarga dan cinta-cita pesantren.
“Tahukah engkau, suara apa itu, wahai Rasul yang mulia?” tanya Jibril.
Nabi tidak menjawab, hanya memandang Jibril.
“Sebuah pintu langit terbuka.”
“Pintu langit. Apa yang istimewa?”
“Pintu ini tidak pernah terbuka selama ini. Ini untuk pertama kalinya ia terbuka.”
“Ada apa gerangan, wahai Rûhul Amîn?”
“Sebuah surat suci datang untukmu, wahai Rasul mulia.”
Nabi diam, menunggu kata-kata Jibril selanjutnya.
“Surat Suci ini tidak pernah diberikan kepada seorang pun selainmu. Tidak pula kepada Nabi dan Rasul sebelummu.”
“Surat Suci apakah itu?”
“Al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir al-Baqarah.”
Nabi terpana. Sekujur tubunya berkeringat. Jiwa raganya bergetar, seperti langit dan semesta yang gemuruh itu.
Sebuah cerita mengharu biru tentang surat yang penuh karisma. Karena itulah, barangkali, Nabi memberinya beberapa nama indah, antara lain: Ummul Quran (induk Quran), al-Quran al-Adzhim (Bacaan yang Agung), as Sab’ul Matsani (yang dibaca berulang-ulang), as-Syifa’(penyembuh), ar-Ruqyah (penyembuh jiwa). Ada juga ulama yang menamainya al-Kanz, perbendaharaan yang menyimpan kekayaan melimpah.
Pembaca yang budiman, bagaimana kalau kita melantunkan surat yang menjadi inti shalat ini bersama-sama sekarang? Mari kita mulai … lalu baca terjemah maknawiahnya, sebagai berikut.
Dengan nama Allah
Yang Maha Mencintai sepenuhnya
Yang Maha Menyayangi seutuhnya
Segala puji bagi Allah
Pengembang, Pendidik, Pemelihara alam semesta
Yang Mencintai (jagat raya dan seisinya)
Yang Menyayangi (para penempuh jalan kebenaran)
Penguasa mutlak Hari Pertanggungjawaban
Hanya untuk-Mu kami persembahkan hidup ini
Dan hanya dari-Mu kami mengharap pertolongan.
Tuhan, bentangkan di hadapan kami jalan lurus
Jalan orang yang Engkau anugrahi kesempurnaan nikmat
Yang tidak pernah membuat-Mu murka,
Dan tidak pula jalan orang yang tersesat.
Ada apa dengan Al-Fatihah hingga menjadi surat yang begitu penting? Sebagiannya akan kita ketahui melalui kisah-kisah berikutnya. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar