Oleh Ustadz Jamaludin Abdullah
Biar nyambung, sebelum baca artikel ini, baca dulu Pembuka 1
“Pak, kenapa sih baca Al-Fatihahnya harus 25 kali?” kata Bu Nyai kepada Pak Kyai setelah magrib.
“Kenapa? Terasa berat?”
“Gak sih. Cuma biar tahu saja. Agar melaksanakannya bisa lebih mantep, tep.”
Pak Kyai mengerti maksud istrinya.
“Memang tidak ada ketentuan harus sekian kali. Apalagi saling membacakan. Hanya saja ini, kan, surat yang sangat istimewa. Nabi menjelaskan bahwa surat Al-Fatihah sebagai surat yang tidak ada bandingannya, tidak dalam kitab-kitab suci lain tidak pula dalam Al-Quran. Ia adalah Ummul Kitab, bahkan ia adalah Al-Quran Yang Agung itu sendiri.”
“Berarti yang lain bernilai di bawah Al-Fatihah, begitu maksudnya?” Bu Nyai bertanya kritis.
“Bukan begitu. Setiap ayat atau surat memiliki keistimewaan. Dan Al-Fatihah ini memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu satu-satunya surat yang wajib dibaca dalam shalat. Dan satu-satunya surat yang ketika dibaca pembacanya seolah sedang berdialog langsung dengan Tuhan, Allah subhaanahu wata’aala.”
Bu Nyai mulai terpana. Tetapi tetap mengejar jawaban atas pertanyaan pertama.
“Terus kenapa 25 kali, kok gak tiga, lima, tujuh atau jumlah lain. Kenapa 25?”
“Setiap orang bisa saja membacanya beberapa kali, terserah.” Pak Kyai melayani pertanyaan istri tercinta dengan sabar. “Saya hanya ingat jumlah Nabi. Jumlah nabi melambangkan proses penyempurnaan Islam. Jadi, Allah menurunkan Islam dalam dua puluh lima tahapan utama.
Kita, kan, tahu Nabi jumlahnya banyak. Namun Al-Quran hanya menceritakan 25 orang. Barangkali yang dua lima ini adalah yang utama. Dan, yang terpenting, penyempurnaan proses risalah yang mereka bawa jatuh pada tahap ke 25, yaitu Nabi Muhammad SAW. Maka saya membayangkan bahwa 25 proses adalah tahapan penyempurnaan yang kita perlukan untuk memantapkan keislaman.
Tapi sekali lagi, ini hanya inisiatif sendiri. Ndak usah dipersoalkan. Karena itu saya tidak pernah minta dan umumkan ke para santri agar mereka membaca Al-Fatihah 25 kali setiap hari, tho? Jadi bisa saja 7, 5, 9 atau sepuluh. Terserah. Setidaknya kita telah membacanya 17 kali setiap hari melalui salat wajib.”
Bu Nyai nampak mulai memahami. Tetapi beliau masih menunggu kata-kata selanjutnya. Pak Kyai nampak belum selesai.
“Di atas semuanya, dan ini yang terpenting,” lanjut Pak Kyai, “Al-Fatihah seperti saya katakan tadi adalah sebuah dialog. Bukan sembarang dialog. Ini adalah Dialog Agung dan personal, antara seorang hamba dan Tuhannya. Melalui hadits Qudsi, Allah sendiri menjelaskan bahwa Al-Fatihah dibagi dua antara diri-Nya dan hamba-Nya ketika membacanya.”
Pak Kyai mendekati sang istri dan duduk pas di sampingnya.
“Agama ini memberi kita jalan paling murah dan mudah. Bacalah Al-Fatihah, resapi maknanya. Jika tidak bisa meresapi pada bacaan pertama, coba lagi yang kedua, ketiga, demikian seterusnya sampai engkau benar-benar merasakan kehadiran dirimu di hadapan Tuhan.”
Pak Kyai mengambil kitab Shahih Muslim, salah satu diantara sekian kitab yang selalu tergeletak di atas mejanya. Ia membaca hadits nomor 395 dan menerjemahkannya dengan agak bebas.
“Coba mari kita resapi bersama dialog berikut:
Ketika sang hamba berucap: “Alhamdulillah rabbil aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).”
Tuhan berujar: “Hamba-Ku sedang memuji-Ku”
Ketika hamba memuji: “Arrahmaanirrahim (Yang Maha Menyayangi dan Mecintai, sepenuhnya dan seutuhnya).”
Tuhan berkata: “HambaKu sedang memuliakan-Ku.”
Ketika hamba berkata dengan rendah hati: ”Maaliki yaumiddin (Penguasa hari berbangkit).
Tuhan menimpali: “HambaKu sedang meninggikan namaKu, atau hambaKu menyerahkan segala urusannya kepadaKu).”
Ketika hamba berikrar dengan sepenuh jiwanya: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya dariMu kami memohon pertolongan).”
Tuhan menegaskan: “Ini adalah kesepakatan antara Aku dan Hambaku, dan hambaKu akan mendapatkan apapun yang dia minta.”
Ketika hamba memohon: “Ihdinas shiraathal mustaqiim. Shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhaalliin (Tuhan, bentangkan di hadapan kami jalan lurus, jalan orang-orang yang Kau anugrahi nikmat, bukan jalan orang yang Kau murkai).”
Tuhan berjanji: “Ini khusus untuk hambaKu. Dan kupastikan bagi hambaKu apa yang dia minta.”
Pak Kyai menyelesaikan pembacaan hadits yang juga dimuat dalam beberapa kitab kumpulan hadits lain itu. Dia memegang tangan istrinya yang putih bersih bukan karena perawatan khusus tapi karena rajin mencuci dan memasak sendiri buat Pak Kyai dan keluarganya itu.
“Ada yang tidak berminat berdialog langsung dengan Tuhannya. Ada yang tidak mau berdialog dengan Sosok yang paling Diagungkan?” Pak Kyai menggugah dengan sebuah pertanyaan.
Bu Nyai tak menjawab. Dia malah memejamkan mata. Diam-diam bacaan Al-Fatihah memenuhi hatinya. Suaranya lirih seolah berbisik. Pak Kyai mengerti. Dia pun diam, membiarkan sang istri menikmati dialognya dengan Sang Maha Agung, Sang Pencipta.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Sepi. Waktu antara magrib dan isya terasa makin sakral. Lalu Bu Nyai membuka mata, pertanda siap mendengar penjelasan Kyai selanjutnya.
Tapi dia tiba-tiba tersadar. Tangannya ditarik dari genggaman sang suami. “Belum salat isya. Entar batal.”
“MasyaAllaah, segitunya. Entar kan bisa wudu lagi. Lebih sering wudu lebih baik.”
Bu Nyai tak berkutik. Pasrah.
“Di atas semuanya,” lanjut Pak Kyai, “Al-Fatihah seperti dapat kita pahami pada bagian akhir dialog tadi sesungguhnya adalah doa. Sebuah kalimat permintaan terbaik yang diajarkan langsung oleh Allah sendiri. Ia adalah juga ungkapan kerendahan hati, ketundukan di hadapan Allah. Ia adalah pengakuan atas kemahakuasaanNya.
Hanya Dia lah tempat meminta, tempat kembali. Hanya Dialah yang memiliki kekuatan, kekuasaan. Karena itu hanya kepadaNya lah permintaan layak disematkan. Dan, Al-Fatihah adalah doa terbaik yang Allah ajarkan langsung kepada kita. Kita diminta untuk banyak berdoa. Berdoa dan berdoa kepada-Nya.
Maka membaca Al-Fatihah berkali-kali dengan tujuan memuji Allah, berdialog langsung, dan berdoa, tentunya sebuah pengalaman rohani yang tinggi, jika kita bisa lakukan.
Barangkali karena itu pula lah Ibnu Taymiyah membiasakan diri bersama jamaah subuhnya membaca surat Al-Fatihah berulang-kali sehabis shalat subuh sampai matahari terbit, meskipun tidak kita dapatkan satu keterangan dari hadits tentang amalan yang demikian.”
Bu Nyai terkesima. Ia diam. Dia tak memandang suaminya. Hatinya lagi-lagi dipenuhi bacaan Al-Fatihah, berdialog tanpa henti dengan Penciptanya. Pelan-pelan matanya berbinar. Sebutir air mata jatuh meluncur melewati pipinya yang bersih alami.
Kini giliran Pak Kyai yang terpana. Ia meletakkan kembali kitab Shahih Musim itu di atas meja. Seuntai senyum tipis melukis wajahnya yang bersih bercahaya.
Fajar Pertama 2015 di Gili Sudak Lombok
(Sumber gambar: islamicartdb.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar